Apa Setelah Pilkades ?

Pada Rabu 19 Februari 2020 lalu, sejumlah 233 dari 419 desa di Bojonegoro menggelar Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Ini adalah tahap III, pada tahun lalu, tahap sebelumnya sudah digelar serentak dua kali. Gegap gempita memuncak pada hari coblosan, dan kemudian seterusnya sepi seperti dini hari yang dirundung gerimis.
Riuh Pilkades ini, bisa dikatakan salah satu yang paling menyita perhatian diantara Pilkades serentak seantero Jawa Timur. Belum ada data muncul, Pilkades serentak dengan jumlah desa sebanyak angka tersebut, kecuali 385 desa di Lamongan tahun lalu. Memang, jumlah desa di Bojonegoro terbesar kedua di Jawa Timur setelah Lamongan.
Begitu lonceng pukul 07.00 berbunyi –pada hari coblosan- calon-calon dengan diiringi pendukungnya menuju Balai Desa dan duduk pada kursi yang telah disiapkan. Tentu dengan  pakaian paling berwibawa dengan memanggul harapan di ubun-ubun.
Warga pemilih mulai berbondong-bondong –sendiri atau dimobilisasi- menyokong pemimpin pujaannya dengan mencoblos gambar atau nomor urut dalam bilik suara yang telah ditentukan. Tentu sambil basa-basi menyapa tetangga, baik yang sering ketemu atau yang jarang bertatap muka. Pedagang yang entah darimana datangnya tak mau kalah, ikut membaur menjemput nafkah dengan sejumlah barang yang dijajakan.
Saat tiba waktu penghitungan, meski hujan tak reda, warga kembali datang dengan mengenakan mantel atau payung. Seolah tak boleh ketinggalan satu poin pun untuk dilihat. Bergerombol, lelaki perempuan, becek tak jadi soal. Hingga malam dituntaskan dengan sorak sorai pawai pesta kemenangan. Hal ini diimbangi langkah gontai kekalahan, sendiri merunduk lesu yang mulai ditinggal pendukungnya. Riuh, semarak, melebihi pasar malam.
Dalam setiap kompetisi pertandingan, langka memang yang terus membicarakan kekalahan  tim atau individu yang terjerembab kalah. Kekalahan dalam sejarahnya selalu diratapi secara tunggal. Kemenangan selalu dirayakan berjamaah. Sekaligus dibincang banyak orang, kadang juga oleh orang atau pihak yang kalah.
Begitu juga tulisan ini, juga “ngrasani” kemenangan yang berhasil lolos dari lubang jarum tegangnya kompetisi dan berhasil menjadi pemimpin pada desa-desa yang dibanggakan. Ada yang meyakini, sejarah adalah milik para pemenang. Itu memang hampir setengahnya adalah kenyataan.
Harapan normatif semua pihak adalah : Yang kalah legowo dan yang menang tidak jumawa. Salah satu cara agar kekecewaan dan kebencian tidak termanifestasikan adalah menginternalisasi harapan tersebut. Satu kekecewaan dilampiaskan dengan letupan yang tidak elok, akan menjadi pemicu bagi 232 desa lainnya.
Titik rawan tentu harus dideteksi dini, khususnya bagi desa yang hasil penghitungan suaranya selisih tipis. Seperti Desa Sukoharjo Kalitidu dan Desa Kesongo Kedungadem. Segala langkah antisipasi harus disiapkan dan diterapkan oleh seluruh stakeholder. Dari panitia hingga aparat penegak hukum.
Jikalau ada bara, biar tetap dalam sekam. Langkah pemadaman lebih bisa dikendalikan. Meski kenyataan belum menggembirakan, kita semua harus tetap melangkah maju. Tanpa kecuali, semua pihak. Kenyataan yang bagaimana? Mari kita diskusikan.
Idealnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sebagai acuan pelaksanaan program pembangunan desa, disahkan paling lambat 31 Desember tahun sebelumnya. Faktanya tidak semua mampu menyelesaikan hal tersebut dengan baik.
Setidaknya masih ada sekitar 30 desa mengesahkan APBDes-nya pada Januari tahun berjalan, yaitu tahun 2020 ini. Hampir sepuluh desa mengesahkan pada bulan Februari. Bahkan, ada sekitar 30 desa belum berhasil mengesahkan APBDes hingga Februari tersisa seminggu. Padahal, proses pencairan Dana Desa terus disederhanakan dan dipercepat. Setidaknya, Januari sudah bisa mencairkan Dana Desa Tahap I, dan sudah ada desa yang mampu menikmatinya.
Andaikata kita membedah hingga riwayat pengesahan RKPDesa dan RPJMDesa bagi yang baru saja melaksanakan Pilkades, ini akan lebih mengharukan. Inilah maksud dari ramai dalam kompetisi Pilkades, sepi dalam merencanakan pembangunan.
Seyogyanya, begitu Kepada Desa (Kades) terpilih dalam kompetisi yang melelahkan dan menguras energi, tidak perlu waktu lama segera membentuk tim perumus di desa yang ditugasi menerjemahkan janji politik dalam visi-misi menjadi rumusan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).
Dokumen ini disusun sekali dalam satu periode dan menjadi semacam “kitab suci” desa dalam merencanakan, menganggarkan dan melaksanakan pembangunan tahunan. Inilah jalan yang wajib ditempuh Kades dalam menunaikan dan membayar janji politik yang telah dideklarasikan pada masa pencalonan.
Format sudah diberikan oleh ketentuan yang mengaturnya. Desa dan seluruh stakeholder hanya harus memikirkan isi dan substansi yang paling baik sesuai kebutuhan masyarakat yang diringkas dalam visi misi.
Dengan begitu, tetangga, keluarga dan masyarakat gembira tidak diingkari oleh Kades yang tadinya dielukan dengan tidak kurang pujian. Karena yang paling sakit adalah diingkari oleh orang yang kita puji.
Melalui perencanaan yang riuh oleh partisipasi warga dan ketaatan pada ketentuan perundangan inilah desa akan terus gegap gempita melaksanakan pembangunan masyarakat. Perangkat desa sudah menunggu di kantor balai desa, masyarakat sudah menunggu di tepi sawah untuk dibangunkan Jalan Usaha Tani. Ibu-Ibu dan pemuda desa sudah menunggu ada pelatihan keterampilan dan sarana olahraga. Selamat Menjadi Kepala Desa!!!

Bojonegoro, 20022020

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Waktunya Bersih-Bersih NU

Nyawa Tenaga Surya